Jumlah Tarekat sangat banyak, akan tetapi yang memiliki anggota yang
cukup banyak tersebar di banyak negara di seluruh dunia sampai kini ada
tujuh, yaitu:
1. Tarekat Khalawatiyah
2. Tarekat Naksyabandiyah
3. Tarekat Qadiriyah
4. Tarekat Rifa’yah
5. Tarekat Sammaniyah
6. Tarekat Syaziliyah
7. Tarekat Tijaniyah
1. Tarekat Khalawatiyah
Cabang dari Tarekat Aqidah Suhrardiyah yang didirikan di Baghdat oleh
Abdul Qadir Suhrawardi dan Umar Suhrawardi. Mereka menamakan diri
golongan Siddiqiyah karena mengklaim sebagai keturunan kahlifah Abu
Bakar r.a. Khalawatiyah ini didirikan di Khurasan oleh Zahiruddin dan
berhasil berkembang sampai ke Turki. Tidak mengherankan jika Tarekat
Khalawatiyah ini banyak cabangnya antara lain; Tarekat Dhaifiyah di
Mesir dan di Somalia dengan nama Salihiyah.
Tarekat Khalawatiyah ini membagi manusia menjadi tujuh tingkatan:
a. Manusia yang berada dalam nafsul ammarah
Mereka yang jahil, kikir, angkuh, sombong, pemarah, gemar kepada
kejahatan, dipengaruhi syahwat dan sifat-sifat tercela lainnya. Mereka
ini bisa membebaskan diri dari semua sifat-sifat tidak terpuji tersebut
dengan jalan memperbanyak zikir kepada Allah SWT dan mengurangi
makan-minum.
Maqam mereka adalah aghyar, artinya kegelap-gulitaan.
b. Manusia yang berada dalam nafsul lawwamah
Mereka yang gemar dalam mujahaddah (meninggalkan perbuatan buruk) dan
berbuat saleh, namun masih suka bermegah-megahan dan suka pamer. Cara
untuk melenyapkan sifat-sifat buruk tersebut adalah mengurangi
makan-minum, mengurangi tidur, mengurangi bicara, sering menyendiri dan
memperbanyak zikir serta berpikir yang baik-baik.
Maqam mereka adalah anwar, artinya cahaya yang bersinar.
c. Manusia yang berada dalam nafsul mulhamah
Mereka yang kuat mujahaddah dan tajrid, karena ia telah menemui
isyarat-isyarat tauhid, namun belum mampu melepaskan diri dari
hukum-hukum manusia. Cara untuk melepaskan kekurangannya adalah dengan
jalan menyibukkan batinnya dalam Hakikat Iman dan menyibukkan diri dalam
Syari’at Islam.
Maqam mereka adalah kamal, artinya kesempurnaan.
d. Manusia yang berada dalam nafsul muthma’innah
Mereka yang tidak sedikit pun meninggalkan ajaran Islam, mereka merasa
nyaman jika berakhlak seperti yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW
dan merasa belum tentram hatinya jika belum mengikuti petunjuk dan sabda
Beliau.
Manusia seperti ini sangat menyenangkan siapa pun yang melihatnya dan mengajaknya berbicara.
e. Manusia yang berada dalam nafsul radhiyah
Mereka yang sudah tidak menggantungkan diri kepada sesama manusia,
melainkan hanya kepada Allah SWT. Mereka umumnya sudah melepaskan
sifat-sifat manusia biasa.
Maqam mereka adalah wisal, artinya sampai dan berhubungan.
f. Manusia yang berada dalam nafsul mardhiyah
Mereka yang telah berhasil meleburkan dirinya ke dalam kecintaan khalik
dan khalak, tidak ada penyelewengan dalam syuhudnya. Ia menepati segala
janji Tuhan dan meletakkan segala sesuatu pada tempatnya.
Maqam mereka adalah tajalli af’al, artinya kelihatan Tuhan.
g. Manusia yang berada dalam nafsul kamillah
Mereka yang dalam beribadah menyertakan badannya, lidahnya, hatinya dan
anggota-anggota tubuhnya yang lain. Mereka ini banyak beristighfar,
banyak ber-tawadhu’ (rendah hati atau tidak suka menyombongkan diri).
Kesenangan dan kegemarannya adalah dalam tawajjuh khalak.
Maqam mereka adalah tajalli sifat, artinya tampak nyata segala sifat Tuhan.
2. Tarekat Naksyabandiyah
Pendiri Tarekat Naksyabandiyah ialah Muhammad bin Baha’uddin
Al-Huwaisi Al Bukhari (717-791 H). Ulama sufi yang lahir di desa
Hinduwan – kemudian terkenal dengan Arifan, beberapa kilometer dari
Bukhara. Pendiri Tarekat Naksyabandiyah ini juga dikenal dengan nama
Naksyabandi yang berarti lukisan, karena ia ahli dalam memberikan
gambaran kehidupan yang ghaib-ghaib. Kata ‘Uwais’ ada pada namanya,
karena ia ada hubungan nenek dengan Uwais Al-Qarni, lalu mendapat
pendidikan kerohanian dari wali besar Abdul Khalik Al-Khujdawani yang
juga murid Uwais dan menimba ilmu Tasawuf kepada ulama yang ternama kala
itu, Muhammad Baba Al-Sammasi.
Tarekat Naksyabandiyah mengajarkan zikir-zikir yang sangat sederhana,
namun lebih mengutamakan zikir dalam hati daripada zikir dengan lisan.
Ada enam dasar yang dipakai sebagai pegangan untuk mencapai tujuan dalam Tarekat ini, yaitu:
a. Tobat
b. Uzla (Mengasingkan diri dari masyarakat ramai yang dianggapnya
telah mengingkari ajaran-ajaran Allah dan beragam kemaksiatan, sebab ia
tidak mampu memperbaikinya)
c. Zuhud (Memanfaatkan dunia untuk keperluan hidup seperlunya saja)
d. Taqwa
e. Qanaah (Menerima dengan senang hati segala sesuatu yang dianugerahkan oleh Allah SWT)
f. Taslim (Kepatuhan batiniah akan keyakinan qalbu hanya pada Allah)
Hukum yang dijadikan pegangan dalam Tarekat Naksyabandiyah ini juga ada enam, yaitu:
a. Zikir
b. Meninggalkan hawa nafsu
c. Meninggalkan kesenangan duniawi
d. Melaksanakan segenap ajaran agama dengan sungguh-sungguh
e. Senantiasa berbuat baik (ihsan) kepada makhluk Allah SWT
f. Mengerjakan amal kebaikan
3. Tarekat Qadiriyah
Pendiri Tarekat Qadiriyah adalah Syeikh Abduk Qadir Jailani, seorang
ulama yang zahid, pengikut mazhab Hambali. Ia mempunyai sebuah sekolah
untuk melakukan suluk dan latihan-latihan kesufian di Baghdad.
Pengembangan dan penyebaran Tarekat ini didukung oleh anak-anaknya
antara lain Ibrahim dan Abdul Salam. Sebagaimana Tarekat yang lain,
Qadiriyah juga memiliki dan mengamalkan zikir dan wirid tertentu.
Sejak kecil, Syeikh Abdul Qadir telah menunjukkan tanda-tanda sebagai
Waliyullah yang besar. Ia adalah anak yang sangat berbakti pada orang
tua, jujur, gemar belajar dan beramal serta menyayangi fakir miskin dan
selalu menjauhi hal0hal yang bersifat maksiat. Ia memang lahir dan
dididik dalam keluarga yang taat karena ibunya yang bernama Fatimah dan
kakeknya Abdullah Sum’i adalah wali Allah SWT.
Syeikh Abdul Qadir Jailani dikaruniai oleh Allah SWT keramat sejak
masih muda, sekitar usia 18 tahun. Dikisahkan dalam manaqib (biografi)
beliau bahwa ketika ia akan membajak sawah, sapi yang menarik bajak
mengatakan kepadanya, “Engkau dilahirkan ke dunia bukan untuk kerja
begini.” Peristiwa yang mengejutkan ini mendorongnya untuk bergegas
pulang. Ketika ia naik ke aatas atap rumah, mata batinnya melihat dengan
jelas suatu majelis yang sangat besar di Padang Arafah. Setelah itu ia
memohojn kepada ibunya agar membaktikan dirinya kepada Allah SWT dan
berkenan mengirimkannya ke kota Baghdad yang kala itu menjadi pusat ilmu
pengetahuan yang terkenal bagi kaum muslimin. Dengan sangat berat hati
ibunya pun mengabulkannya.
Suatu hari bergabunglah Abdul Qadir Jailani dengan kafilah yang
menuju Baghdad. Ketika hampir sampai di tujuan, kafilah ini dikepung
oleh sekawanan perampok. Semua harta benda milik kafilah dirampas,
kecuali bekal yang dibawa oleh Abdul Qadir Jailani. Salah seorang
kawanan perampok kemudian mendatanginya dan bertanya, “Apa yang engkau
bawa?” Dengan jujur Abdul Qadir Jailani menjawab, “Uang empat puluh
dinar.”
Perampok itu membawa Abdul Qadir Jailani menghadap pimpinannya dan
menceritakan tentang uang empat puluh dinar. Pemimpin perampok itu pun
segera meminta uang yang empat puluh dinar tadi, namun ia merasa
terpesona oleh kepribadian Abdul Qadir Jailani. “Mengapa engkau berkata
jujur tentang uang ini?” Dengan tenang Abdul Qadir Jailani, “Saya telah
berjanji kepada ibu untuk tidak berbohong kepada siapapun dan dalam
keadaan apapun.
Seketika pemimpin perampok tersebut terperangah, sejenak kemudian ia
menangis dan menyesali segala perbuatan zalimnya. “Mengapa saya berani
terus-menerus melanggar peraturan Tuhan, sedangkan pemuda ini melanggar
janji pada ibunya sendiri saja tidak berani.” Ia kemudian memerintahkan
semua barang rampasan kepada pemiliknya masing-masing dan sejak itu
berjanji untuk mencari rezeki dengan jalan yang halal.
Semasa Abdul Qadir Jailani masih hidup, Tarekat Qadiriyah sudah
berkembang ke beberapa penjuru dunia, antara lain ke Yaman yang
disiarkan oleh Ali bin Al-Haddad, di Syiria oleh Muhammad Batha’, di
Mesir oleh Muhammad bin Abdus Samad serta di Maroko, Turkestan dan India
yang dilakukan oleh anak-anaknya sendiri. Mereka sangat berjasa dalam
menyempurnakan Tarekat Qadiriyah. Mereka pula yang menjadikan tarekat
ini sebagai gerakan yang mengumpulkan dan menyalurkan dana untuk
keperluan amal sosial.
4. Tarekat Rifa’yah
Pendirinya Tarekat Rifaiyah adalah Abul Abbas Ahmad bin Ali Ar-Rifai.
Ia lahir di Qaryah Hasan, dekat Basrah pada tahun 500 H (1106 M),
sedangkan sumber lain mengatakan ia lahir pada tahun 512 H (1118 M).
Sewaktu Ahmad berusia tujuh tahun, ayahnya meninggal dunia. Ia lalu
diasuh pamannya, Mansur Al-Batha’ihi, seorang syeikh Trarekat. Selain
menuntut ilmu pada pamannya tersebut ia juga berguru pada pamannya yang
lain, Abu Al-Fadl Ali Al Wasiti, terutama tentang Mazhab Fiqh Imam
Syafi’i. Dalam usia 21 tahun, ia telah berhasil memperoleh ijazah dari
pamannya dan khirqah 9 sebagai pertanda sudah mendapat wewenang untuk
mengajar.
Ciri khas Tarekat Rifaiyah ini adalah pelaksanaan zikirnya yang
dilakukan bersama-sama diiringi oleh suara gendang yang bertalu-talu.
Zikir tersebut dilakukannya sampai mencapai suatu keadaan dimana mereka
dapat melakukan perbuatan-perbuatan yang menakjubkan, antara lain
berguling-guling dalam bara api, namun tidak terbakar sedikit pun dan
tidak mempan oleh senjata tajam.
5. Tarekat Sammaniyah
Kemunculan Tarekat Sammaniyah bermula dari kegiatan Syeikh Muhammad
Saman, seorang guru masyhur yang mengajarkan Tarekat di Madinah. Banyak
orang Indonesia terutama dari Aceh yang pergi ke sana mengikuti
pengajarannya. Oleh sebab itu tidak mengherankan jika Tarekat ini
tersebar luas di Aceh dan terkenal dengan nama Tarekat Sammaniyah.
Sebagaimana guru-guru besar Tasawuf, Syeikh Muhammad Saman terkenal
akan kesalehan, kezuhudan dan kekeramatannya. Salah satu keramatnya
adalah ketika Abdullah Al-Basri – karena melakukan kesalahan –
dipenjarakan di Mekkah dengan kaki dan leher di rantai. Dalam keadaan
yang tersiksa, Al-Basri menyebut nama Syeikh Muhammad Saman tiga kali,
seketika terlepaslah rantai yang melilitnya. Kepada seorang murid Syeikh
Muhammad Saman yang melihat kejadian tersebut, Al-Basri menceritakan,
“kulihat Syeikh Muhammad Saman berdiri di depanku dan marah. Ketika
kupandang wajahnya, tersungkurlah aku pingsan. Setelah siuman, kulihat
rantai yang melilitku telah terputus.”
Perihal awal kegiatan Syeikh Muhammad Saman dalam Tarekat dan
Hakikat, menurut Kitab Manaqib Tuan Syeikh Muhammad Saman, adalah sejak
pertemuannya dengan Syeikh Abdul Qadir Jailani. Kisahnya, di suatu
ketika Syeikh Muhammad Saman berkhalwat (bertapa) di suatu tempat dengan
memakai pakaian yang indah-indah. Pada waktu itu datang Syeikh Abdul
Qadir Jailani membawakan pakaian jubah putih. “Ini pakaian yang cocok
untukmu.” Ia kemudian memerintahkan Syeikh Muhammad Saman agar melepas
pakaiannya dan mengenakan jubah putih yang dibawanya. Konon semula
Syeikh Muhammad Saman menutup-nutupi ilmunya sampai datanglah perintah
dari Rasulullah SAW menyebarkannya dalam kota Madinah.
Tarekat Sammaniyah juga mewiridkan bacaan zikir yang biasanya
dilakukan secara bersama-sama pada Malam Jum’at di masjid-masjid atau
mushalla sampai jauh tengah malam. Selain itu ibadah yang diamalkan oleh
Syeikh Muhammad Saman yang diikuti oleh murid-muridnya sebagai Tarekat
antara lain adalah shalat sunnah Asyraq dua raka’at, shalat sunnah Dhuha
dua belas raka’at, memperbanyak riadhah (melatih diri lahir batin untuk
mendekatkan diri kepada Allah SWT) dan menjauhkan diri dari kesenangan
duniawi.
6. Tarekat Syaziliyah
Pendiri Tarekat Syaziliyah adalah Abdul Hasan Ali Asy-Syazili,
seorang ulama dan sufi besar. Menurut silsilahnya, ia masih keturunan
Hasan, putra Ali bin Abi Thalib dan Fatimah binti Rasulullah SAW. Ia
dilahirkan pada 573 H di suatu desa kecil di kawasan Maghribi. Tentang
arti kata “Syazili” pada namanya yang banyak dipertanyakan orang
kepadanya, konon ia pernah menanyakannya kepada Tuhan dan Tuhan pun
memberikan jawaban, “Ya Ali, Aku tidak memberimu nama Syazili, melainkan
Syazz yang berarti jarang karena keistimewaanmu dalam berkhidmat
kepada-Ku.
Ali Syazili terkenal sangat saleh dan alim, tutur katanya enak
didengar dan mengandung kedalaman makna. Bahkan bentuk tubuh dan
wajahnya, menurut orang-orang yang mengenalnya, konon mencerminkan
keimanan dan keikhlasan. Sifat-sifat salehnya telah tampak sejak ia
masih kecil. Apalagi setelah ia berguru pada dua ulama besar – Abu
Abdullah bin Harazima dan Abdullah Abdussalam ibn Masjisy – yang sangat
meneladani khalifah Abu Bakar dan Ali bin Abu Thalib.
Dalam jajaran sufi, Ali Syazili dianggap seorang wali yang keramat.
Dalam sebuah riwayat dikisahkan bahwa ia pernah mendatangi seorang guru
untuk mempelajari suatu ilmu. Tanpa basa-basi sang guru mengatakan
kepadanya, “Engkau mendapatkan ilmu dan petunjuk beramal dariku?
Ketahuilah, sesungguhnya engkau adalah salah seorang guru ilmu-ilmu
tentang dunia dan ilmu-ilmu tentang akhirat yang terbesar.” Kemudian
pada suatu waktu, ketika ingin menanyakan tentang Ismul A’zam kepada
gurunya, seketika ada seorang anak kecil datang kepadanya, “Mengapa
engkau ingin menanyakan tentang Ismul A’zam kepada gurumu? Bukankah
engkau tahu bahwa Ismul A’zam itu adalah engkau sendiri?”
Tarekat Syaziliyah merupakan Tarekat yang paling mudah pengamalannya.
Dengan kata lain tidak membebani syarat-syarat yang berat kepada Syeikh
Tarekat. Kepada mereka diharuskan:
a. Meninggalkan segala perbuatan maksiat.
b. Memelihara segala ibadah wajib, seperti shalat lima waktu, puasa Ramadhan dan lain-lain.
c. Menunaikan ibadah-ibadah sunnah semampunya.
d. Zikir kepada Allah SWT sebanyak mungkin atau minimal seribu kali
dalam sehari semalam dan beristighfar sebanyak seratus kali
sehari-semalam dan zikir-zikir yang lain.
e. Membaca shalawat minimal seratus kali sehari-semalam dan zikir-zikir yang lain.
7. Tarekat Tijaniyah
Pendiri Tarekat Tijaniyah ialah Abdul Abbas bin Muhammad bin Muchtar
At-Tijani (1737-1738), seorang ulama Algeria yang lahir di ‘Ain Mahdi.
Menurut sebuah riwayat, dari pihak bapaknya ia masih keturunan Hasan bin
Ali bin Abu Thalib. Keistimewaannya adalah pada saat ia berumur tujuh
tahun, Konon Tijani sudah menghapal Alqur’an, kemudian mempelajari
pengetahuan Islam yang lain, sehingga ia menjadi guru dalam usia belia.
Ketika naik haji di Madinah, Tijani berkenalan dengan Muhammad bin
Abdul Karim As-Samman, pendiri Tarekat Sammaniyah. Setelah itu ia mulai
mempelajari ilmu-ilmu rahasia batin. Gurunya yang lain dalam bidang
Tarekat ini ialah Abu Samghun As-Shalasah. Dari sinilah pandangan
batinnya mulai terasah. Bahkan konon dalam keadaan terjaga ia bertemu
Nabi Muhammad SAW yang mengajarkan kepadanya beberapa wirid, istighfar
dan shalawat yang masing-masing harus diucapkan seratus kali dalam
sehari semalam. Selain itu Nabi Muhammad SAW juga memerintahkan agar
Tijani mengajarkan wirid-wirid tersebut kepada semua orang yang
menghendakinya.
Wirid-wirid yang harus diamalkan dalam Tarekat Tijaniyah sangat
sederhana, yaitu terdiri dari istighfar seratus kali, shalawat seratus
kali dan tahlil seratus kali. Semua wirid tersebut boleh diamalkan dua
waktu sehari yaitu pagi setelah Shalat Shubuh dan sore setelah Shalat
Ashar.
Sumber Tulisan:
* Syamsul Rijal Hamid, Buku Pintar Agama Islam; Edisi Senior, Cetakan VIII, Penebar Salam, Jakarta, September 2000
* Abu Bakar Aceh, Pengantar Ilmu Tarekat; Kajian Historis tentang Mistik, Cetakan IX, Ramadhani, Solo, 1993
Sumber Ilustrasi:
Sufi Tariqat by studiovalentine.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar